Langsung ke konten utama

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.11/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2020 TENTANG HUTAN TANAMAN RAKYAT (tidak termasuk lampiran)

 

 

 

 

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN  REPUBLIK INDONESIA NOMOR  P.11/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2020 TENTANG HUTAN TANAMAN RAKYAT 

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

 

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN          MENTERI              LINGKUNGAN    HIDUP   DAN KEHUTANAN TENTANG HUTAN TANAMAN RAKYAT.

 

BAB I KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1.        Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk  meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.

2.        Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat IUPHHK- HTR adalah izin usaha untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan ikutannya pada hutan produksi yang diberikan kepada kelompok masyarakat dengan menerapkan sistem silvikultur yang sesuai tapaknya untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan. 

3.        Kelompok Tani Hutan yang selanjutnya disingkat KTH adalah kelompok yang dibentuk oleh anggota masyarakat untuk mencapai tujuan bersama dalam mengusahakan atau memanfaatkan hasil hutan kayu atau hasil hutan bukan kayu atau jasa lingkungan hutan secara lestari   dan berada/tinggal di desa atau beberapa desa di sekitar atau di dalam kawasan hutan negara dan  kelembagaannya disahkan oleh Kepala Desa.

4.        Gabungan Kelompok Tani Hutan yang selanjutnya  disebut GAPOKTAN adalah organisasi yang dibentuk oleh beberapa KTH untuk mencapai tujuan bersama dalam mengusahakan atau memanfaatkan hasil hutan kayu  atau hasil hutan bukan kayu atau jasa lingkungan hutan secara lestari dan berada/tinggal di desa atau beberapa desa di sekitar atau di dalam kawasan hutan negara dan kelembagaannya bila berada di dalam satu desa disahkan oleh Kepala Desa atau bila berada di dalam beberapa wilayah desa disahkan oleh Camat.

5.        Koperasi Tani Hutan yang selanjutnya disebut KOPTANHUT adalah badan usaha koperasi yang dibentuk oleh perorangan yang merupakan petani hutan untuk bersama-sama mengusahakan atau memanfaatkan hasil hutan kayu atau hasil hutan bukan kayu atau jasa lingkungan secara lestari.

6.        Masyarakat Setempat adalah penduduk asli atau pendatang yang berdomisili di dalam atau di sekitar hutan di satu desa atau beberapa desa dalam satu wilayah kabupaten yang dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP)/ Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga (KK).

7.        Verifikasi adalah penelaahan administrasi dan teknis terhadap permohonan IUPHHK-HTR.

8.        Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial yang selanjutnya disingkat PIAPS adalah peta yang memuat areal kawasan hutan negara yang dicadangkan untuk Perhutanan  Sosial. 

9.        Sistem Silvikultur adalah teknik budi daya hutan atau teknik bercocok tanam hutan mulai memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman, dan memanen. 

10.     Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman selanjutnya disingkat RKUPHHK-HTR adalah rencana kerja untuk seluruh areal kerja IUPHHK-HTR dalam satu wilayah kabupaten/kota dan berlaku selama jangka waktu izin, antara lain memuat aspek kelestarian usaha, aspek keseimbangan lingkungan dan sosial ekonomi yang disahkan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi/Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

11.     Penataan Areal Kerja adalah pengaturan peruntukan  areal kerja IUPHHK-HTR sebagai areal budi daya dan Kawasan Lindung.

12.     Areal Budi Daya adalah areal yang diperuntukan dengan tujuan produksi guna mendukung pemenuhan bahan baku industri melalui kegiatan penanaman berupa tanaman hutan berkayu.

13.     Kawasan Lindung adalah areal yang ditetapkan berdasarkan hasil identifikasi dan harus dilindungi untuk kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya  alam dan sumber daya  buatan.

14.     Agroforestri adalah optimalisasi pemanfaatan lahan hutan di areal izin usaha Hutan Tanaman Rakyat dengan pola tanam kombinasi antara tanaman hutan yang berupa pohon dengan tanaman selain pohon dan/atau hewan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan tanaman dengan tidak mengubah fungsi pokok usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. 

15.     Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.

16.     Direktur Jenderal adalah Pejabat Pimpinan Tinggi Madya yang membidangi pengelolaan hutan produksi.

17.     Kepala Dinas adalah kepala dinas provinsi yang membidangi kehutanan.  

18.     Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disingkat UPT adalah unit pelaksana teknis yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal.

 

Pasal 2

Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam memberikan akses legal, meningkatkan produktivitas hutan produksi dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan hutan, serta diprioritaskan untuk penyelesaian permasalahan tenurial dan pemulihan ekosistem.

 

Pasal 3

Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mendorong   masyarakat memiliki kemampuan secara mandiri dalam pengelolaan hutan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mendukung ketersediaan bahan baku industri hasil  hutan. 

 

Pasal 4

Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi:

a.        Persyaratan areal dalam IUPHHK-HTR;

b.        Tata cara permohonan dan pemberian IUPHHK-HTR;

c.         Penataan Areal Kerja IUPHHK-HTR;

d.        Sistem Silvikultur, jenis tanaman, dan pola pengelolaan;

e.         Fasilitasi;

f.          Hak dan Kewajiban; dan

g.        Pembinaan dan Pengendalian.

 

 

 

 

BAB II

PERSYARATAN AREAL IUPHHK-HTR 

 

Pasal 5

(1)      Areal IUPHHK-HTR berada pada kawasan Hutan Produksi Terbatas dan kawasan Hutan Produksi Tetap diutamakan pada kawasan Hutan Produksi yang tidak produktif dan belum dibebani izin atau hak pengelolaan.

(2)      Areal IUPHHK-HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicadangkan oleh Menteri melalui penetapan Peta Areal Indikatif Arahan Pemanfaatan Hutan Produksi yang Tidak Dibebani Izin untuk Usaha Pemanfaatan Hutan dan/atau berdasarkan PIAPS.

 

BAB III

TATA CARA PERMOHONAN DAN PEMBERIAN IUPHHK-HTR

 

Pasal 6

(1)      Permohonan IUPHHK-HTR diajukan oleh: 

a.        KTH; 

b.        GAPOKTAN; 

c.        KOPTANHUT; dan

d.        profesional kehutanan atau perseorangan yang memperoleh pendidikan kehutanan atau bidang ilmu lainnya yang pernah sebagai pendamping atau penyuluh di bidang kehutanan, dengan membentuk kelompok atau koperasi bersama masyarakat setempat.

(2)      Permohonan lokasi IUPHHK-HTR dapat berada dalam satu kesatuan lansekap (bentang alam) sebagai upaya pelestarian ekosistem dan diutamakan yang berada dalam PIAPS.

(3)      Permohonan IUPHHK-HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan: 

a.        daftar nama masyarakat setempat calon anggota kelompok HTR yang diketahui oleh kepala desa/lurah atau akte pendirian koperasi, daftar nama anggota, kartu tanda penduduk, atau keterangan domisili untuk koperasi; 

b.        gambaran umum wilayah, antara lain keadaan fisik wilayah, sosial ekonomi, dan potensi kawasan; dan

c.        peta usulan lokasi paling kecil skala 1:50.000 (satu berbanding lima puluh ribu) berupa dokumen  tertulis dan salinan elektronik dalam bentuk shape file.

(4)      Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada      ayat (2) berada di luar PIAPS tetap dapat diajukan kepada Menteri dengan difasilitasi oleh UPT dan sebagai bahan revisi PIAPS. 

(5)      Dalam hal satu KPH telah memiliki rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan sudah operasional, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada rencana pengelolaan hutan jangka panjang. 

(6)      Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diprioritaskan untuk penyelesaian konflik, pencegahan kebakaran hutan, kegiatan restorasi gambut, dan/atau restorasi ekosistem. 

 

Pasal 7

(1)      Permohonan IUPHHK-HTR diajukan kepada Menteri dengan tembusan kepada:

a.         gubernur; 

b.        bupati/walikota; 

c.         Kepala Dinas;

d.        kepala UPT; dan 

e.         kepala KPH. 

(2)      Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat difasilitasi oleh KPH dan/atau UPT. 

 

Pasal 8

(1)      Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Direktur Jenderal dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja melakukan identifikasi dan verifikasi kelengkapan syarat administrasi.

(2)      Dalam hal kelengkapan syarat administrasi tidak dipenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal mengembalikan permohonan kepada pemohon.

(3)      Berdasarkan pengembalian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) KPH dan/atau UPT dapat melakukan pendampingan perbaikan permohonan  dengan melengkapi persyaratan administrasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dikembalikan.

(4)      Dalam hal persyaratan administrasi telah dipenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) permohonan diajukan kembali kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Menteri.

(5)      Direktur Jenderal menyatakan persyaratan administrasi lengkap dan dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja memerintahkan kepala UPT untuk melakukan identifikasi dan verifikasi lapangan.

 

Pasal 9

(1)      Kepala UPT dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya perintah dari Direktur Jenderal membentuk Tim Identifikasi dan Verifikasi yang anggotanya dapat terdiri dari unsur: 

a.        dinas provinsi; 

b.        UPT terkait; dan

c.         KPH. 

(2)      Tim Identifikasi dan Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak dibentuknya Tim.

(3)      Tim Identifikasi dan Verifikasi melaporkan hasil verifikasi kepada kepala UPT.

(4)      Kepala UPT menyampaikan hasil identifikasi dan verifikasi kepada Direktur Jenderal. 

(5)      Pedoman identifikasi dan verifikasi permohonan IUPHHKHTR ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

 

 

Pasal 10

(1)      Dalam hal hasil identifikasi dan verifikasi telah memenuhi persyaratan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak hasil identifikasi dan verifikasi diterima, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan Keputusan tentang pemberian IUPHHK-HTR.

(2)      Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal atas nama Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur yang membidangi iuran kehutanan menerbitkan surat perintah pembayaran iuran izin.

(3)      Tata cara pembayaran iuran izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 11

 (1) Permohonan IUPHHK-HTR dapat dilakukan secara:

                 a.           manual; atau

                 b.           elektronik. 

(2) Tata cara permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

 

Pasal 12 

(1)      Luasan areal yang dimohon untuk HTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur sebagai berikut: a. KTH atau GAPOKTAN paling luas 15 (lima belas) hektare per kepala keluarga atau paling luas 5.000 (lima ribu) hektare  per izin usaha; atau b.           KOPTANHUT paling luas 5.000 (lima ribu) hektare.

(2)      Luas areal KOPTANHUT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya diberikan kepada KOPTANHUT yang memiliki tenaga teknis kehutanan dan modal cukup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 13 

(1)      IUPHHK-HTR berlaku untuk jangka waktu  60 (enam puluh) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali selama 35 (tiga puluh lima) tahun.

(2)      IUPHHK-HTR dalam hutan tanaman dievaluasi setiap 5 (lima) tahun oleh Menteri sebagai dasar berkelanjutannya izin.

 BAB IV

PENATAAN AREAL KERJA IUPHHK-HTR

 

Pasal 14

(1)      Penataan Areal Kerja IUPHHK-HTR dilaksanakan untuk mengoptimalkan fungsi produksi dengan tetap memperhatikan keseimbangan aspek lingkungan yang didasarkan pada hasil identifikasi analisa areal IUPHHKHTR. 

(2)      Hasil identifikasi analisa areal IUPHHK-HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mendapatkan informasi mengenai:

a.        areal bekas tebangan yang masih ada tegakan dipertahankan untuk kawasan perlindungan setempat;

b.        areal tidak berhutan/tidak produktif yang dapat diusahakan; 

c.         areal bekas tebangan yang masih ada tegakan dan tidak dapat dihindari untuk diusahakan; dan

d.        informasi lainnya yang berkaitan dengan keadaan areal kerja antara lain sarana dan prasarana, pemukiman, sawah, tegalan, ladang, dan perkebunan.

 

Pasal 15

Penetapan Kawasan Lindung IUPHHK-HTR didasarkan atas:

a.        kriteria-1, kawasan hutan:

1.        yang mempunyai kelerengan, kepekaan jenis tanah, dan intensitas curah hujan dengan skoring sama dengan dan/atau lebih besar dari 175 (seratus tujuh puluh lima);

 

2.        dengan kelerengan lebih dari 40% (empat puluh persen) dan/atau dengan kelerengan lebih dari 15% (lima belas persen) untuk jenis tanah yang sangat peka terhadap erosi antara lain regosol, litosol, organosol, dan renzina; dan/atau

3.        dengan ketinggian sama dengan atau lebih besar dari 2.000 (dua ribu) meter dari permukaan laut;

b.        kriteria-2,

kawasan hutan bergambut berupa areal puncak kubah gambut atau ketebalan gambut 3 (tiga) meter atau lebih yang terdapat di hulu sungai atau rawa.

c.         kriteria-3, sempadan sungai, mata air, waduk, danau, dan jurang dengan radius, atau jarak sampai dengan:

1.        500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;

2.        200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;

3.        100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;

4.        50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; atau

5.        2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang.

d.        kriteria-4, sempadan pantai dengan radius atau jarak sampai dengan 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai atau daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat;

e.         kriteria-5, kawasan penyangga/buffer zone hutan lindung dan/atau kawasan konservasi;

f.          kriteria-6, kawasan pelestarian plasma nutfah (KPPN) dan kawasan perlindungan satwa liar (KPSL);

g.        kriteria-7, kawasan cagar budaya dan/atau ilmu pengetahuan; dan

h.        kriteria-8, kawasan rawan terhadap bencana alam.

 

 

 

 

 

Pasal 16

(1)      Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) sebagai dasar Penataan Areal Kerja IUPHHK-HTR yang meliputi:

a.        Areal Budi Daya; dan

b.        Kawasan Lindung.

(2)      Areal Budi Daya dan/atau Kawasan Lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk di dalamnya untuk pembangunan dan/atau pengembangan sarana dan prasarana.

 

Pasal 17

(1)      Pemanfaatan hutan pada IUPHHK-HTR meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran.

(2)      Penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan alam dilakukan sesuai dengan ketentuan penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan alam.

(3)      Penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan tanaman dilakukan sesuai dengan ketentuan penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan tanaman.

 

Pasal 18

(1)      Rencana Penataan Areal Kerja IUPHHK-HTR disajikan dalam bentuk peta dengan dilengkapi keterangan dari fungsi setiap areal.

(2)      Pewarnaan dalam peta Penataan Areal Kerja IUPHHK-HTR berdasarkan fungsi arealnya, meliputi:

a.        Areal Budi Daya dengan warna kuning; dan

b.        Kawasan Lindung dengan warna merah.

(3)      Peta Penataan Areal Kerja IUPHHK-HTR dilengkapi tabel luas dan presentase Areal Budi Daya dan Kawasan Lindung. 

 

 

 

Pasal 19

(1)      Penataan Areal Kerja sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 18 menjadi dasar penyusunan RKUPHHK-HTR dan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (RKTUPHHK-HTR).

(2)      RKUPHHK-HTR disusun oleh pemegang IUPHHK-HTR untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.

(3)      Penyusunan RKUPHHK-HTR dan RKTUPHHK-HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat difasilitasi  oleh UPT.

(4)      Penilaian dan persetujuan RKUPHHK-HTR dilakukan   oleh Kepala UPT.

(5)      Penilaian dan persetujuan RKTUPHHK-HTR berdasarkan RKUPHHK-HTR, dilakukan oleh Kepala Dinas.

(6)      Kepala Dinas dapat melimpahkan kewenangan penilaian dan pengesahan RKTUPHHK-HTR kepada Kepala KPH.

(7)      Pemegang IUPHHK-HTR yang telah memenuhi kriteria dan indikator yang ditetapkan oleh Menteri dapat melakukan pengesahan tanpa memerlukan pengesahan dari pejabat yang berwenang/self approval.

(8)      Format RKUPHHK-HTR dan RKTUPHHK-HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan   dari Peraturan Menteri ini.

(9)      Format persetujuan RKUPHHK-HTR dan RKTUPHHK-HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(10)   Pedoman penyusunan, penilaian, dan persetujuan RKUPHHK-HTR dan RKTUPHHK-HTR ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

 

Pasal 20

(1)      Revisi RKUPHHK-HTR dan RKTUPHHK-HTR dilakukan berdasarkan: 

a.        perubahan luas areal kerja; 

b.        perubahan daur dan/atau jenis tanaman; 

c.         perubahan kondisi fisik sumber daya hutan yang disebabkan oleh faktor manusia, faktor alam, pengembangan usaha pemanfaatan kawasan, usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan ekowisata, usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan/atau penggunaan kawasan oleh sektor lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 

d.        hasil penilaian Nilai Konservasi Tinggi (NKT), perubahan deliniasi, dan/atau pengembangan sarana prasarana; 

e.         perubahan sistem dan teknik silvikultur dan pengembangan usaha, terdiri atas bio-energi, kegiatan agroforestri, dan/atau jasa lingkungan; 

f.          rencana perlindungan dan pengelolaan Ekosistem

Gambut; 

g.        peta fungsi Ekosistem Gambut; dan/atau 

h.        perubahan lain yang dapat dipertanggungjawabkan. 

(2)      Pemegang IUPHHK-HTR mengajukan usulan revisi:

a.        RKUPHHK-HTR kepada Kepala UPT; dan

b.        RKTUPHHK-HTR kepada Kepala Dinas atau Kepala KPH dalam hal Kepala Dinas telah melimpahkan kewenangannya.

(3) Revisi RKUPHHK-HTR dan RKTUPHHK-HTR tidak mengubah jangka waktu RKUPHHK-HTR dan RKTUPHHKHTR sebelumnya.

 

BAB V

SISTEM SILVIKULTUR, JENIS TANAMAN, DAN POLA PENGELOLAAN

 

Pasal 21

(1)      Sistem Silvikultur pada areal tidak berhutan/tidak produktif yang dapat diusahakan dalam pembangunan HTR dilakukan dengan sistem Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB).

(2)      Pada areal bekas tebangan yang masih berhutan dan tidak dapat dihindari untuk diusahakan dilakukan dengan Sistem Silvikultur selain THPB.

(3)      Sistem Silvikultur selain THPB dapat berupa:

a.        Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI);

b.        Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ);

c.         Tebang Rumpang (TR); dan/atau

d.        Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI), yang dipilih sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan.

(4)      Penerapan Multi Sistem Silvikultur (MSS) dilakukan pada areal yang memiliki kondisi gabungan antara:

a.        Sistem Silvikultur pada areal tidak berhutan/tidak produktif yang dapat diusahakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b.        Sistem Silvikultur pada areal bekas tebangan yang masih berhutan dan tidak dapat dihindari untuk diusahakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(5)      Penerapan MSS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan berdasarkan kesesuaian lahan, karakteristik sumber daya hutan, dan tujuan pengelolaannya.

(6)      Pedoman pelaksanaan Sistem Silvikultur diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

(7)      Pengelolaan Kawasan Lindung dilaksanakan antara lain berupa kegiatan rehabilitasi pada areal yang terbuka dengan melakukan penanaman pengayaan sampai dengan paling sedikit 400 (empat ratus) pohon per hektare  dengan jenis tanaman setempat.

 

Pasal 22

(1)      Jenis tanaman dalam kegiatan Hutan Tanaman Rakyat meliputi penanaman: 

a.         tanaman sejenis; dan/atau 

b.        tanaman berbagai jenis. 

(2)      Penanaman tanaman sejenis berupa penanaman  tanaman hutan berkayu yang hanya terdiri dari satu jenis atau spesies beserta varietasnya dikembangkan sesuai dengan kondisi tapak dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan dan kelayakan ekonomi.

(3)      Penanaman tanaman berbagai jenis berupa penanaman tanaman hutan berkayu yang dikombinasikan dengan tanaman budi daya tahunan berkayu atau jenis tanaman lainnya. 

(4)      Tanaman hutan berkayu yang hanya terdiri dari satu jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan yang dikombinasikan dengan tanaman budi daya tahunan yang berkayu atau tanaman jenis lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa tanaman berkayu penghasil kayu, tanaman penghasil hasil hutan bukan kayu, tanaman penghasil bio-energi, atau tanaman penghasil pangan. 

(5)      Tanaman budi daya tahunan yang berkayu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa tanaman budi daya tahunan yang berkayu penghasil kayu, tanaman hasil hutan bukan kayu, atau tanaman penghasil bio-energi atau tanaman penghasil pangan. 

(6)      Tanaman jenis lainnya sebagaimana dimaksud pada  ayat (3) berupa tanaman selain pohon berkayu sebagai penghasil bio-energi, penghasil pangan, obat-obatan, kosmetika, dan/atau pakan.

(7)      Pada Areal Budi Daya dan/atau Kawasan Lindung dapat dikembangkan multi usaha kehutanan berupa hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan yang dituangkan dalam RKUPHHK-HTR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(8)      Dalam hal areal IUPHHK-HTR berada pada ekosistem mangrove, pengembangan multi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat berupa kegiatan wanamina  atau silvofisheries.

 

Pasal 23

(1)      Jenis tanaman hutan berkayu, tanaman budi daya tahunan yang berkayu, dan tanaman jenis lainnya diarahkan untuk mendukung industri hasil hutan, penyediaan bahan baku bio-energi berbasis biomassa kayu dan biofuel, ketahanan pangan, obat-obatan, kosmetika, kimia dan/atau pakan.

(2)      Jenis tanaman hutan berkayu, jenis tanaman budi daya tahunan yang berkayu, dan tanaman jenis lainnya yang diperbolehkan dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

Pasal 24

(1)      Penanaman jenis tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 didasarkan pada pola pengelolaan sesuai dengan kondisi tapak areal IUPHHK-HTR. 

(2)      Pola pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada Areal Budi Daya dengan pola swakelola dan kemitraan. 

(3)      Pola swakelola dilaksanakan secara mandiri oleh pemegang IUPHHK-HTR, sedangkan pola kemitraan dilaksanakan dengan bekerja sama dengan pihak lain untuk optimalisasi pemanfaatan areal tanaman budi daya.

 

Pasal 25

Tanaman hutan berkayu dan tanaman budi daya tahunan yang berkayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 yang dapat diusahakan dalam areal IUPHHK-HTR untuk penyediaan bahan baku industri, dikelompokkan (cluster) untuk pemenuhan bahan baku industri, meliputi: 

a.        serat untuk pulp, kertas, dan/atau rayon; 

b.        pertukangan; dan 

c.         bio-energi.

 

Pasal 26

(1)      Untuk pemenuhan bahan baku industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 pemegang IUPHHK-HTR dapat melakukan kerjasama penyediaan bahan baku dengan industri hasil hutan atau mengusahakan industri hasil hutan sendiri.

(2)      Pemegang IUPHHK-HTR dapat diberikan izin usaha industri hasil hutan di dalam areal kerjanya sesuai  dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

(3)      Pemegang IUPHHK-HTR yang mengusahakan bio-energi berbasis kayu tanaman dengan daur pendek kurang dari 5 (lima) tahun dapat diberikan izin usaha industri hasil hutan kayu pada areal kerjanya berupa industri serpih kayu, wood pellet, arang kayu, biofuel, dan biogas. 

(4)      Pemegang IUPHHK-HTR yang menghasilkan produk samping berupa hasil hutan bukan kayu dapat diberikan izin usaha industri hasil hutan bukan kayu pada areal kerjanya. 

(5)      Izin usaha industri hasil hutan bukan kayu pada areal kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi industri pengawetan/pengolahan rotan, bambu dan sejenisnya, pengolahan pati, tepung, lemak dan sejenisnya, pengolahan getah, resin, dan sejenisnya, pengolahan biji-bijian, pengolahan madu, pengolahan nira, minyak atsiri, dan/atau industri karet remah (crumb rubber).

 

Pasal 27

(1)      Tanaman hutan berkayu, tanaman budi daya tahunan yang berkayu, dan jenis tanaman lainnya dapat diusahakan dalam areal IUPHHK-HTR untuk mendukung penyediaan bahan baku industri pangan, obat-obatan, kosmetika, kimia, dan/atau pakan. 

(2)      Tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan dengan menerapkan Agroforestri pada Areal Budi Daya berdasarkan asas kelestarian. 

(3)      Penerapan Agroforestri sebagaimana dimaksud pada  ayat

(2) didominasi jenis tanaman berkayu. 

(4)      Izin usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pengolahan hasil Agroforestri skala kecil dan menengah dapat diberikan kepada Pemegang IUPHHKHTR di dalam areal kerjanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

(5)      Pengembangan Agroforestri yang mengarah pada  tanaman pangan dan ternak serta industri pengolahannya dapat dilakukan di areal kerja IUPHHK-HTI secara swakelola atau kerja sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pasal 28

(1)      Pola tanam untuk tanaman berbagai jenis dilakukan dengan penerapan Agroforestri. 

(2)      Penerapan Agroforestri sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) dilakukan pada Areal Budi Daya untuk penanaman tanaman hutan berkayu dan/atau tanaman budi daya tahunan yang berkayu dan/atau tanaman jenis lainnya, dengan pola berblok dan/atau petak dan/atau jalur berselang-seling. 

(3)      Penerapan Agroforestri sebagaimana dimaksud pada  ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. 

 

BAB VI FASILITASI

 

Pasal 29

(1)      Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi Pemegang IUPHHK-HTR dalam bentuk: 

a.        fasilitasi pada tahap usulan permohonan dan perpetaan;

b.        penguatan kelembagaan dan pembentukan koperasi;

c.         peningkatan kapasitas termasuk manajemen usaha dan pengadaan Tenaga Teknis (GANIS);

d.        tata batas partisipatif;

e.         penyusunan rencana kerja usaha dan rencana kerja tahunan;

f.          pembiayaan;

g.        sertifikasi, pasca panen, pengembangan usaha, dan akses pasar; 

h.        insentif bibit, konservasi tanah dan air, dan alat pengembangan ekonomi produktif berbasis kehutanan; dan/atau

i.          konservasi keanekaragaman hayati, pemberdayaan masyarakat berbasis konservasi, dan sertifikasi legalitas kayu.

 

(2)      Pemerintah dan pemerintah daerah dalam memberikan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan         ayat (2) dapat dibantu oleh UPT, instansi lain yang   terkait, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi. 

(3)      Pemegang              IUPHHK                dapat    memfasilitasi     Pemegang

IUPHHK-HTR yang berada di sekitar areal kerja IUPHHKHTI untuk mendukung pemenuhan bahan baku industri hasil hutan IUPHHK-HTI (off-taker).

 

Pasal 30

Pembiayaan untuk kegiatan HTR dapat bersumber dari: 

a.        anggaran pendapatan dan belanja negara; 

b.        anggaran pendapatan dan belanja daerah; 

c.         pinjaman pembiayaan pembangunan hutan;  

d.        dana desa; 

e.         dana rehabilitasi hutan dan lahan;

f.          hibah luar negeri; dan/atau 

g.        sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

 

BAB VII HAK DAN KEWAJIBAN

 

Pasal 31 (1) Setiap pemegang IUPHHK-HTR berhak:

a.        melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya;

b.        mendapatkan akses pembiayaan dari Pemerintah;

c.         mendapatkan pendampingan dan pelatihan untuk penguatan kelembagaan oleh instansi terkait;

d.        mendapatkan fasilitasi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 29; dan

e.         mendapatkan bantuan Tenaga Teknis (GANIS).

(2)      Setiap pemegang IUPHHK-HTR wajib :

a.        menyusun RKUPHHK-HTR;

 

b.        menyusun RKTUPHHK-HTR;

c.         melaksanakan tata batas partisipatif, di antaranya berupa pemasangan patok/ penandaan batas;

d.        melaksanakan          perlindungan     hutan    di            areal   kerjanya;

e.         melaksanakan sistem silvikultur;

f.          melaksanakan Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH);

g.        melaporkan kinerja pemanfaatan hasil hutan kayu secara periodik; dan

h.        membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(3)      Tata cara pembayaran Iuran IUPHHK-HTR dan PNBP diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

 

BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN 

 

Pasal 32

(1)      Direktur Jenderal, Kepala Badan, Kepala Dinas, Kepala UPT, dan Kepala KPH sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan pengendalian terhadap pelaksanaan kegiatan HTR.

(2)      Evaluasi terhadap IUPHHK-HTR dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun dan menjadi dasar kelangsungan izin.

(3)      Pedoman pembinaan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur  

Jenderal. 

 

BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN

 

Pasal 33

(1)       Pemegang IUPHHK-HTR harus meningkatkan realisasi pelaksanaan penanaman dalam areal kerjanya dengan prioritas pada areal yang telah dilakukan pemanenan dan/atau sesuai rencana dalam RKUPHHK-HTR.

(2)       Tanaman yang dihasilkan dari IUPHHK pada HTR merupakan aset pemegang izin usaha, dan dapat  dijadikan agunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sepanjang izin usahanya masih berlaku.

 

BAB X KETENTUAN PERALIHAN

 

Pasal 34

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

a.        IUPHHK-HTR yang telah terbit sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7l Tahun 2O14 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, diatur sebagai berikut:

1.        areal puncak kubah gambut sesuai peta fungsi Ekosistem Gambut wajib dijadikan sebagai Kawasan

Lindung, sedangkan fungsi lindung Ekosistem Gambut yang berada di luar areal puncak kubah gambut dapat dikelola dan dialokasikan sebagai areal tanaman budi daya;

2.        dalam hal telah terdapat tanaman pada areal puncak kubah gambut, dapat dipanen 1 (satu) daur dan dilakukan pemulihan;

3.        dalam hal terdapat areal di luar puncak kubah gambut yang berada dalam fungsi lindung Ekosistem Gambut dapat dimanfaatkan dengan kewajiban menjaga fungsi hidrologis gambut.

b.        IUPHHK-HTR yang telah terbit sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, izinnya tetap berlaku dan pelaksanaannya harus menyesuaikan dengan Peraturan

Menteri  ini.

c.        IUPHHK-HTR yang areal kerjanya terjadi perubahan peruntukan kawasan hutan karena perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, tanamannya diperlakukan sebagai aset pemegang IUPHHK-HTR dan dapat dimanfaatkan oleh Pemegang IUPHHK-HTR.

 

BAB XI KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 35

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan mengenai Hutan Tanaman Rakyat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan     Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1663), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 36

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada                 tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundanganPeraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karbohidrat Dalam Tanaman

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI POHON Karbohidrat Dalam Tanaman Nama : Habibullah Nim : D1D016004 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS JAMBI I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang             Fotosintesi pada tanaman tidak lepas dari pigmen klorofil, fosontesis terjadi pada daun dan disini juga terjadinya penimbunan pati. Saat kondisi lingkungan gelap maka terjadi translokasi pati ke organ-organ lain yang digunaakan sebagai bahan dasar dalam proses metabolisme lain (baik anabolisme maupun katabolisme). Sehingga dipagi hari timbunan pati yang ada pada daun tidak ditemukan lagi.             Alkohol merupakan pelarut pigmen klorofil, sehingga kasus klorosis yang terjadi pada sistem perakaran tanaman diakibatkan   alkohol yang terakumulasikan didalam daun.      ...

Cara Hipno

1. Cerita > melalui kata... 2. Repitation > pengulangan...  Dengan pola : yes > save> yes>save Sampai mereka menerima kata-kata anda. Contoh: iklan TV 3. Otoritas > guru kepada murid  Melalui Trust ( kepercayaan) 4. Metaphora > (pengandaian yang baik-baik) 5. Emosi > (yaitu pemanfaatan lawan bicara) Hipnoterapi ada gelombang beta, alfa, teta, dan delta Kata kunci > kata yang digabung dengan pernyataan yang jawabannya dapat mengetahui persepsi orang pada alam bawah sadar Sugesti Contoh pola kalimat visual : bayangkan pantai angin sepoi - sepoi ada gelom bang dan lain - lain Visual > kelihatan Auditori > kedengaran Kinestetik> rasa -rasa Hipnosis > sikologi Jadi berhati - hatilah terhadap kata -kata karena kata- kata dapat mengendalikan

SKCK

Tahukah teman-teman apa itu SKCK? SKCK atau Surat Keterangan Catatan Kepolisian  adalah selembar kertas yang dikeluarkan oleh kepolisian yang menerangkan bahwa nama yang tertulis tidak pernah tercatat atau melakukan tindak kriminal. Lalu, apa fungsi dari SKCK itu sendiri? Salah satu fungsi SKCK yaitu digunakan sebagai syarat bagi para jobseeker  atau pelamar pekerjaan yang mana surat ini nanti akan digunakan untuk menerangkan bahwa pemilik SKCK tersebut bebas dari tindakan kriminal. Bagaimana cara mendaftar atau membuat SKCK? Cara membuat atau mendaftar SKCK anda dapat datang ke kantor POLSEK atau POLRES terdekat. Apa persyaratan untuk mengurus SKCK? Saya tidak akan menggeneralisasi bahwa persaratan ini berlaku untuk setiap polsek atau polres, namun untuk daerah saya kantor kepolisian sektor Pemayung berikut persyaratannya. Untuk persyaratan pembuatan SKCK baru yaitu  Foto copy KTP 1 lembar Foto copy KK 1 lembar Foto copy akte/ijazah terakhir 1 lem...