BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Negara Indonesia merupakan Negara yang kaya
akan berbagai keaneka ragaman jenis baik
flora maupun faunanya. Karena letaknya yang berada pada garis khatulistiwa
menyebabkan indonesia memiliki iklim tropis dan merupakan Negara yang memiliki
hutan tropis terbesar setelah brazil. Sehinga hampir semua jenis tumbuhan
berbunga yang ada di dunia dapat tumbuh dengan baik didalamnya. Salah satu spesies tumbuhan berbunga yang
tumbuh di Indonesia yaitu Malapari (Pongamia
pinnata)
Malapari (Pongamia pinnata) merupakan spesies
tumbuhan berbunga dari family Fabaceae (polong – polongan) yang tumbuh pada
ekosistim pesisir pantai. Buah malapari memiliki banyak manfaat baik dari akar, batang, buah, daun, maupun
bunganya. Salah satu manfaat dari
tumbuhan malapari yang telah dimanfaatkan yaitu biji buahnya, yang memiliki kandungan
minyak 27- 40% dari berat kering benihnya. Selain manfaatnya sebagai sumber
energi, tanaman malapari juga memiliki kemampuan untuk tumbuh pada lahan
berpasir sehingga dapat dikembangkan untuk konservasi atau rehabilitasi kawasan
pantai. (Soerawidjaja, 2005).
1.2. Rumusan masalah
1.
Bagaimanakah
deskripsi sifat botanis dari tumbuhan Malapari.?
2.
Bagaimana
teknik perbanyakan dan budidaya tumbuhan Malapari ?
3.
Apasaja
potensi yang dapat dimanfaatkan dari tumbuhan Malapari .?
1.3. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui deskripsi sifat botanis tumbuhan Malapari
2.
Untuk
mengetahui tehnik perbanyakan dan budidaya tumbuhan Malapari
3.
Untuk
mengetahui potensi serta manfaat tumbuhan Malapari
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Tinjauan pustaka
Malapari atau mempari (Pongamia
pinnata) adalah sejenis pohon yang tumbuh di daerah pantai, merupakan anggota dari
suku Fabaceae (Leguminosae).
Pohon ini juga dikenal dengan nama-nama lokal seperti kacang kayu laut .
Tumbuhan malapari merupakan
tumbuhan yang sangat toleran pada kondisi salinitas tinggi. Tumbuhan malapari mampu
tumbuh mencapai dewasa pada umur 4 - 5 tahun, berbunga pada umur 4 – 7 tahun (Kumar, 2007; Gilman
and Watson, 1994).
Pemanfaatan malapari
sebagai biodiesel banyak ditemukan di India. Kelebihan malapari sebagai bahan
baku biodiesel adalah biji mempunyai rendemen minyak yang tinggi (mencapai 27 -
39%) terhadap berat kering dan dalam pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan
kepentingan pangan (Soerawidjaja, 2006). potensinya dapat mencapai 900-9000 kg
biji per ha. Penanaman malapari seluas 100 ha, diprediksi mampu menghasilkan 18
ton/Ha/tahun atau lebih menjanjikan bila dikomparasi dengan jenis jarak pagar
dan tanaman kelapa sawit (Mukta et al., 2008). Selain manfaatnya sebagai
sumber energi, tanaman malapari juga memiliki kemampuan untuk tumbuh pada lahan
berpasir sehingga dapat dikembangkan untuk konservasi atau rehabilitasi kawasan
pantai.
Penyediaan bibit malapari dengan menggunakan bahan
generatif (biji) tidak menghadapi masalah yang berarti, karena benih mudah
dikecambahkan. Namun demikian, teknik perbanyakan secara vegetatif juga penting
dikembangkan mengingat benih malapari bersifat rekalsitran (Aminah dan
Syamsuwida, 2013) sehingga benih harus segera dikecambahkan. Selain itu
perbanyakan vegetatif juga bermanfaat untuk perbanyakan secara masal dengan
tata waktu yang dapat direncanakan sesuai kebutuhan. Teknik ini terutama
dimanfaatkan untuk menghasilkan tanaman yang memiliki sifat genetik sama dengan
induknya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Deskripsi sifat botanis Malapari (Pongamia pinnata)
Tumbuhan malapari atau mempari memiliki beberapa nama daerah antara lain
Malapari
(Simeuleu), Mabai (Bangka), Ki pahang laut (Jawa Barat), Bangkongan, Kepik
(Jawa), Kranji (Madura), Marauwen (Minahasa), Hate hira (Ternate), Butis, Sikam
(Timor). Sedangkan untuk nama
internasional tanaman ini adalah Pongam, Karanj, Karanja, Honge, Indian
beech
(Soerawidjaja, 2005).
A. Klasifikasi dan Morfologi
Tanaman malapari (Pongamia pinnata L.) tergolong dalam famili
Leguminoceae dengan klasifikasi
sebagai berikut (Cronquist,
1981) :
Divisio : Magnoliophyta (tumbuhan
berbunga)
Kelas :
Magnoliopsida
Ordo : Rosales
Famili : Caesalpiniaceae
Genus : Pongamia
Spesies :
Pongamia pinnata L.
Sinonim : Pongamia
glabra Ventenat, , Derris indica Lamk, Millettia
pinnata L.,
Tanaman malapari berupa
perdu atau pohon yang menggugurkan daunnya dengan percabangan tersebar. Tinggi
pohon ini berkisar antara 15 – 25 m dengan diameter batang mencapai 80 cm. Batang berwarna abu-abu, melekah
tegak lurus samar-samar, cabang pada umumnya tidak memiliki rambut atau urat,
dan memiliki goresan yang menyerupai bintil berdekatan dengan pinak daun pada
pangkal gagang daun. Setiap ranting
memiliki 5 – 9 helai daun. Daun malapari
tersusun dalam dua deret dengan 3 – 7 pinak daun yang terletak secara
bersilangan, mengkilat dan warnanya hijau tua. Unit dan letak daun majemuk
bersilangan, berbentuk
bulat telur, menjorong atau lonjong (elips) berukuran 5 – 22,5 cm
× 2,5 – 15 cm, pangkalnya membundar hingga membaji, dan ujung daun menumpul –
meruncing. Perbungaannya berupa tandan
semu di ketiak daun dengan panjang 6 – 27 cm.
Pada setiap buku terdapat sepasang bunga berbau menyengat, berwarna
putih hingga merah muda, bagian dalam berwarna ungu dengan ruam hijau di
tengah, dan terdapat urat kecoklatan di
bagian luarnya. Tangkai bunga berukuran
7-15 mm ditutupi oleh pinak daun yang halus dan berambut pendek. Mahkota daun
berbentuk bulat telur terbalik dengan panjang 11 – 18 mm. kelopak bunga berbentuk cangkir, panjangnya
4-5 mm, ditutupi oleh rambut yang pendek dan halus serta memiliki gigi tumpul
yang sangat pendek. Polong berbentuk
lonjong menyerong hingga menjorong, tipis berukuran 5 – 8 cm × 2 – 3,5 cm × 1 –
1,5 cm, halus, berkulit tebal hingga agak mengayu, berparuh, bertangkai pendek,
merekah lambat, berisi 1 – 2 biji, mesokarp berserabut, biji bulat telur gepeng
berukuran 1,5 – 2,5 cm × 1,2 – 2 cm × 0,8 cm, dan bermantel rapuh. Polong tidak membuka ketika masak (Anonimous,
2007). Kenampakan morfologi tanaman
malapari dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1.
Bagian tanaman malapari (Pongamia
pinnata L.); (A) habitus; (B) batang; (C) daun; (D) bunga; (E) buah; (F)
biji
B. Persebaran
Secara umum habitat pohon malapari adalah tepi pantai berpasir putih. Malapari (Pongamia pinnata L.) besar berasal dari India dan dijumpai secara alami dan naturalisasi dari Pakistan, India dan Sri Lanka serta seluruh Asia Tenggara termasuk Indonesia sampai timur laut Australia, Fiji dan Jepang. Selanjutnya diintroduksi di Mesir dan Amerika Serikat (Florida, Hawaii) (Anonimous, 2007). Di Indonesia tanaman ini ditemukan tersebar luas dari Pulau Sumatera bagian timur (TN Berbak, Teluk Berikat – Pulau Bangka), Pantai di sekitar Tanjung Lesung (Banten), Pantai Batu Karas (Ciamis), Ujung Blambangan (TN Alas Purwo), Pantai Lovina (Bali Utara), Pantai Sembelia (Lombok Timur), dan Pantai Barat Pulau Seram (Maluku) (Djam’an, 2009).
Gambar
2. Peta Sebaran Malapari (Pongamia pinnata Merril) di Pulau Jawa
C.
Persyaratan
Ekosistem Tempat Tumbuh
Tanaman malapari banyak ditemukan di
sepanjang pantai dan hidup bergerombol. Pohon termasuk jenis cepat tumbuh dalam
4 – 5 tahun tinggi pohon dapat mencapai 20 – 25 m dan sudah mulai berbunga dan
berbuah (Heyne, 1987). Umumnya ditanam di areal pesisir kawasan tropis karena sifatnya
yang tahan terhadap salinitas dan udara yang terbuka. Pada persebaran alaminya pohon ini dapat
tumbuh pada ketinggian antara 0 – 1.200 m dpl.
Tanaman malapari tumbuh baik pada tanah liat berpasir, tanah berpasir,
dan tanah liat yang bergumpal-gumpal pada kondisi masin dan alkalinitas. Malapari
merupakan tanaman asli daerah subtropis dan humida yang memiliki curah hujan
tahunan antara 500 – 2.500 mm dan musim kering selama 2 – 6 bulan dengan
suhu maksimum antara 27 – 38°C dan suhu minimum antara 1 – 16°C. Tanaman dewasa mampu tumbuh pada suhu di atas 50°C.
Pada tingkat anakan toleran terhadap naungan dan dapat mengikat nitrogen bebas
(nitrogen-fixing ability) (Djam’an, 2009).
Malapari sebaiknya ditanam pada tanah
berdrainase baik dengan sinar matahari penuh atau sebagian. Pemeliharaan tanaman ini relatif lebih mudah,
tahan terhadap hembusan angin kencang dan kekeringan tetapi sensitif terhadap cuaca yang
sangat dingin (frost) di bawah 30°F. Malapari akan
menunjukkan kekurangan nutrisi jika tumbuh pada tanah dengan pH di atas 7,5
(Gilman dan Watson, 1994).
3.2. Tekhnik
perbanyakan dan budidaya tanaman malapari
Status
keterancaman malapari sudah mulai terjadi dengan mulai hilangnya beberapa
daerah sebaran alaminya sebagaimana terjadi di Lampung, Kepulauan Bangka dan
Belitung dan dipesisir Selatan Pulau Jawa. Salah satu upaya penyelamatan
potensi malapari yang dapat dilakukan adalah melakukan konservasi insitu
dihabitat alaminya atau melalui konservasi eksitu diluar tebaran alaminya.
Tujuan konservasi tersebut untuk menjamin basis genetik malapari yang tetap
dengan tetap dipertahankan bahkan dikembangkan, sebab bukan saja untuk mempertahankan
sifat yang telah ada tetapi untuk memperoleh sifat baru yang diinginkan dan
sekaligus memiliki kemampuan beradaptasi pada lingkungan yang beragam (Wright,
1976).
A. Tekhnik perbanyakan tanaman
Malapari merupakan tanaman tahunan, yang
secara ekonomis menguntungkan setelah tanaman berumur 4 – 5 tahun. Untuk itu,
pengembangan malapari memerlukan kebijakan yang baik agar petani atau pengusaha
tidak kecewa. Sebelum ki pahang dikembangkan perlu adanya varietas unggul.
Untuk itu sebelum tanaman menghasilkan, dianjurkan untuk ditumpangsarikan
dengan tanaman palawija yang sesuai untuk daerah tersebut (Mardjono, 2008).
1.
Generative
Perbanyakan tanaman malapari dapat
melalui biji dimana biji dipilih dari buah yang benar-benar masak pohon dan
memiliki daya kecambah terbaik dibandingkan buah setengah masak. Setelah daging
buah dikelupas, biji/benih harus langsung ditabur langsung ke dalam polibag
atau disemai dalam bak kecambah. Hal ini untuk mengurangi kemungkinan benih
turun daya kecambahnya. Setiap
polibag diisi media tanam berupa tanah lapisan atas (top soil) dan dicampur pupuk kandang. Setiap polibag ditanami 1
(satu) benih. Tempat pembibitan diberi naungan atau atap dengan bahan dapat
berupa daun kelapa, jerami atau paranet. Pembibitan ini dilakukan selama 2 - 3
bulan. Kegiatan yang dilakukan selama pembibitan antara lain penyiraman (setiap
hari 2 kali pagi dan sore), penyiangan dengan melakukan pembersihan gulma
sekitar tanaman, dan seleksi dengan memilih bibit yang pertumbuhannya baik.
2.
Vegetative
Tekhnik
perbanyakan secara vegetatif juga mudah dilaksanakan, yaitu dengan cara stek
batang. Stek diambil dari pohon induk yang baik dan sehat. Bahan stek dapat dikumpulkan dari ranting
berukuran 1 – 1,5 cm atau dari trubusan hasil pemangkasan, tidak memerlukan
bahan perangsang pertumbuhan akar. Stek umur 2 bulan sudah berakar dan tunas
sudah mencapai 10 – 15 cm (Djam’an, 2009).
Perbanyakan
vegetatif dengan teknik ini menggunakan tunas atau trubusan dari batang muda
yang masih dalam tahap pertumbuhan, selanjutnya ditumbuhkan pada media tanam
sehingga mampu menghasilkan sistem perakaran yang baik hingga tumbuh dan
berkembang menjadi bibit siap tanam di lapangan. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan pengakaran setek antara lain adalah faktor internal
seperti hormon pertumbuhan. Pemberian zat pengatur tumbuh dari golongan auksin
(hormon eksogen) sangat bermanfaat untuk meningkatkan persen setek berakar,
jumlah dan kualitas akar setek. Karoshi dan Hedge (2002) menyatakan bahwa IBA
2500 ppm merupakan auksin yang terbaik untuk perakaran pada setek batang Pongamia
pinnata. Namun semakin meningkat konsentrasi IBA semakin menurun
kemampuan memunculkan akar. IBA 2500 ppm efektif meningkatkan persen hidup,
panjang akar, berat kering akar, jumlah akar, jumlah tunas.
B. Penanaman
Penanaman
dilakukan pada awal atau selama musin penghujan sehingga kebutuhan air bagi
tanaman cukup tersedia. Bibit yang ditanam dipilih yang sehat dan cukup kuat
serta tinggi bibit sekitar 50 cm atau lebih. Saat penanaman tanah disekitar
batang tanaman dipadatkan dan permukaannya dibuat agak cembung. Penanaman dapat
juga dilakukan secara langsung di lapangan (tanpa pembibitan) dengan menggunakan
stek cabang atau batang. Jarak tanam yang biasa digunakan berkisar antara 2
× 2 m sampai 5 × 5 m (Anonimous, 2009).
C. Pemanenan
Buah yang dikumpulkan sebaiknya sudah
berwarna hijau kecoklatan sampai berwarna cokelat. Buah-buah ini dapat
dikumpulkan dengan cara mengoyang-goyang dahan dan apabila buah sudah tua akan
rontok dengan sendirinya. Kemudian buah dikupas secara manual seperti akan
mengupas kacang tanah. Hasil perhitungan pontensi produksi pada akhir musim
buah dapat dikumpulkan 28 kg dari 1 pohon. Dalam satu pohon malapari dihasilkan
9 – 90 kg biji/tahun, sehingga jika kerapatan tanamnya 100 pohon/ha, maka
potensi panennya adalah 900 – 9.000 kg biji/ha/tahun. Apabila rendemen 25% maka
dihasilkan 225 – 2.250 kg/ha/tahun minyak lemak. Dengan cara pembudidayaan yang
baik dan rotasi tanam 5 – 7 tahun, maka produksi perkebunan malapari yang
dihasilkan mencapai 2 ton minyak-lemak dan 5 ton kayu bakar per hektar/tahun
(Djam’an, 2009).
3.3. Potensi serta manfaat tumbuhan Malapari (Pongamia pinnata)
A. Malapari sebagai bahan bakar nabati
Tumbuhan malapari berperan dalam
menyediakan dua sumber energi, yaitu kayunya sebagai bahan bakar yang memiliki
kalori bakar kayu sebesar 19,2 MJ/kg, dan bijinya mengandung minyak nabati
dengan kandungan minyak sebesar 27 – 40% dari berat keringnya. Tanaman ini
sudah terkenal di India sebagai sumber kayu bakar dan minyak lemak nonpangan
untuk bahan bakar lampu (Soerawidjaja, 2005). Pengolahan minyak malapari
sebagai bahan bakar nabati (biodiesel) dilakukan dengan tahapan sebagai berikut
:
1.
Pengeringan
dan Pengupasan
Pengeringan
buah malapari bertujuan untuk mempermudah proses pengupasan kulit buah.
Pengeringan ini dilakukan dengan cara dijemur dibawah sinar matahari hingga
biji mencapai kadar air sebesar 7 – 10%
(Mardjono, 2008). Buah yang telah kering ditaruh ditempat teduh menunggu proses
pengupasan. Setelah itu buah dikupas dengan cara buah yang sudah kering
diletakkan di atas permukaan yang keras seperti lantai semen atau meja, lalu
digiling atau ditekan dengan sebuah kayu sehingga kulit buah pecah dan biji
keluar.
Biji dan minyak malapari (mentah)
mengandung asam amino kompleks [glabrin (C21H42O12N3)],
4 furanoflavon [karanjin (C18H12O4), pongapin
(C19H12O6), kanjon (C18H12O4),
dan pongaglabron (C18H10O5.½H2O)],
serta diketon [pongamol (C18H14O4)]. Senyawa-senyawa
ini dapat diambil dari biji dan minyak via ekstraksi dengan alkohol. Minyak
yang baru diekstraksi berwarna kekuning-kuningan hingga kecoklatan dan akan
segera berwarna gelap setelah disimpan. Minyak ini biasanya berbau tidak sedap
dan berasa pahit (Meher dkk, 2004).
2.
Proses ekstraksi biji menjadi minyak Malapari
Sama
halnya dengan minyak biji jarak pagar, minyak malapari alami dibuat dari daging
buah (kernel). Alat yang digunakan untuk membuat minyak kasar antara lain
pengepres yang dapat digerakkan dengan tangan atau mesin dengan teknologi yang
sederhana sehingga dapat diaplikasikan di daerah pedesaan. Selain alat yang
sederhana, ada juga alat yang modern misalnya mesin expeller yang berfungsi
untuk memeras kernel malapari agar keluar minyak malapari alaminya. Kemudian minyak tersebut dialirkan ke tangki degumming untuk menghilangkan getah dari
biji. Pengaliran ke dalam tangki ini bertujuan untuk menghilangkan fosfor
(fosfolipid) dan pemanasan digunakan untuk menghilangkan asam lemak bebas. Kedua bahan tersebut harus dihilangkan jika
minyak malapari digunakan sebagai biodesel karena fosfor dapat mengendap
sebagai kerak diruang bakar diesel sedangkan asam lemak bebas bersifat korosif
yang dapat merusak komponen mesin diesel.
Kemudian filer press digunakan untuk menyaring hasil degumming dan hasil dari saringan adalah
minyak goreng, kental licin, dan berbau tidak sedap (Alamsyah, 2006).
3.
Pembuatan
Biodiesel
Transesterifikasi merupakan
proses pembuatan biodesel yang dilakukan dengan
mencampurkan lemak atau minyak lemak yang diperoleh dengan metanol (bisa
diperoleh dari gas bumi atau biomassa) atau etanol dalam keadaan katalis (yaitu
diberi KOH) dan dipanaskan pada suhu 25 – 80°C. Dari proses ini akan diperoleh
hasil berupa ester metil/etil, asam-asam lemak (biodesel) dan gliserin.
Gliserin merupakan produk samping yang dapat digunakan pada industri farmasi,
sabun dan kosmetik. Ada kemungkinan bahwa gliserin ini dapat dikonversi menjadi
etanol. Tujuan dari proses transesterifikasi
adalah untuk menurunkan viskositas atau kekentalan minyak nabati
sehingga akan menyamai petrodiesel (solar atau ADO) hingga mencapai nilai 4,84
cst (Susilo, 2006).
Sifat bahan bakar dari minyak
malapari yang ditransesterifikasi dikenal sebagai metal ester (biodiesel) yang
memenuhi standar biodiesel ASTM (American
Standard Testing Method). Dari hasil penelitian Ahmad dkk (2009) diketahui
bahwa minyak malapari pada umumnya memiliki berat jenis 0,92; kinametic viscosity pada suhu 40°C
sekitar 7,53, titik lelehnya 90°C, kandungan sulfur 0,0084% berat, pour point
sekitar -6°C, titik beku sekitar 4°C, distilasi (initial boiling point) sekitar
215, dan angka cetane 53 (angka ini
terbilang kecil untuk kecepatan diesel yang tinggi). Berdasarkan sifat-sifat di
atas dapat disimpulkan bahwa minyak malapari merupakan pilihan yang baik untuk
energi terbarukan (renewable energy)
guna mengurangi ketergantungan pada impor minyak asing.
B. Manfaat dan potensi tumbuhan malapari
lainya
Banyak sekali manfaat dari tanaman
malapari, kayunya sebagai bahan timber untuk lemari, kereta roda, dan pulp
kertas. Daun, bunga, dan bijinya dimanfaatkan sebagai pupuk hijau dan juga
sebagai pakan ternak. Bunganya merupakan sumber serbuk sari dan nektar yang
baik untuk madu hitam atau coklat. Ekstrak daun, pegagan dan biji merupakan
antiseptik melawan penyakit kulit dan rematik. Biji yang telah dimemarkan dan
dipanggang digunakan sebagai racun ikan. Di pedalaman daun-daun kering disimpan
pada lumbung padi atau biji-bijian untuk mengusir serangga. Malapari juga
dimanfaatkan oleh serangga lak dan kayu cendana yang hemiparasit Santalum album L sebagai tumbuhan
inangnya. Tanaman ini juga dapat dimanfaatkan untuk reforestasi tanah kurang
subur karena sistem perakarannya yang dapat menahan rotasi. Minyak yang
dihasilkannya dapat digunakan sebagai pelumas seperti yang telah dimanfaatkan
dalam industri penyamakan kulit tradisional di India, serta dalam pembuatan
sabun, pernis, dan cat (Djam’an, 2009).
Rumphius mencatat bahwa
pepagan Malaparius dapat digunakan untuk mengobati akibat sengatan ikan sembilang atau
sejenisnya. Menurutnya pula, rebusan kulit pohon ini bersama kacang (hijau), bawang putih, mesoyi dan cengkeh,
dipakai orang-orang Seram
Timur dan Banda untuk
menyembuhkan sakit beri-beri.
Kulit berbau tak enak ini di Grajagan, Banyuwangi,
dipakai untuk mengatasi kudis. Bijinya beracun dan dipakai
untuk meracun ikan. Minyak bijinya dipakai untuk mengobati penyakit kulit,
sebagai minyak lampu, bahan pembuatan sabun, dan kini juga sebagai bahan biodiesel.
Malapari juga acap ditanam sebagai peneduh
tepi jalan atau kanal irigasi, penghias taman, penghalang angin, dan penyubur
tanah. Kayunya yang berserat bagus dipakai dalam pembuatan kabinet, alat-alat
pertanian, gagang peralatan, tonggak dan lain-lain. Dengan nilai kalori sebesar 4600 kkal per kg,
ranting-ranting dan kayu pohon ini baik untuk dijadikan kayu bakar.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Malapari (Pogamia pinnata L.) Pierre adalah pohon atau tumbuhan yang tumbuh
pada ekosistem pesisir pantai dengan kondisi tanah berpasir, danmampu tumbuh
pada kondisi tanah bersalinitas tinggi. Oleh sebab itu, tumbuhan malapari mampu
di jadikan sebagai tanaman konservasi pesisir pantai, guna mengurangi abrasi
pantai dan sebagai pemecah angina pantai.
Status
keterancaman malapari sudah mulai terjadi dengan mulai hilangnya beberapa
daerah sebaran alaminya sebagaimana terjadi di Lampung, Kepulauan Bangka dan
Belitung dan dipesisir Selatan Pulau Jawa. Salah satu upaya penyelamatan
potensi malapari yang dapat dilakukan adalah melakukan konservasi insitu
dihabitat alaminya atau melalui konservasi eksitu diluar tebaran alaminya.
Tujuan konservasi tersebut untuk menjamin basis genetik malapari yang tetap
dengan tetap dipertahankan bahkan dikembangkan, sebab bukan saja untuk
mempertahankan sifat yang telah ada tetapi untuk memperoleh sifat baru yang
diinginkan dan sekaligus memiliki kemampuan beradaptasi pada lingkungan yang beragam.
Tumbuhan
malapari memiliki manfaat yang potensial untuk dibudidayakan dalam
perkebunan terpadu untuk menghasilkan menghasilkan listrik, minyak nabati
berupa biodiesel, dan bahan-bahan kimia untuk obat dan bioinsektisida serta
bahan anti serangga lainya. Berbagai macam manfaat dari tumbuhan malapari mampu
dijadikan sebagai alternative dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M., M. Zafar, M. A. Khan, dan S.
Sultana. (2000). Biodiesel from Pongamia pinnata L. Oil: A Promising
Alternative Bioenergy Source . Energy Sources, Part A: Recovery, Utilization, and
Environmental Effects. Vol. 31 : 1436 – 1442.
Alamsyah,
A.N. (2006). Biodesel Jarak Pagar. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Cronquist, A. 1981. An Integrated System of Classification of Flowering Plants.
Columbia University Press. pp : XIV - XVIII
Jayusman. (2013).
Peta Sebaran Malapari (Pongamia pinnata Merril) di Pulau
Jawa dan Upaya Konservasinya. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.
Rina Kurniaty,
Kurniawati Purwaka Putri dan Nurmawati Siregar . (2016). Pengaruh Bahan Stek dan
Zat Pengaruh Tumbuh Terhadap Kebrthasilan Stek Pucuk Malapari (Pongamia
pinnata). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi
dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Bogor Indonesia.
Komentar
Posting Komentar