JENIS-JENIS AGROFORESTRY
Oleh Dr. Ir. Hamzah, M.Si., I.PM
a.
Agroforestry
Sederhana
Sistem agroforestry sederhana adalah suatu
sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau
lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi
petal lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola
lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.
Jenis-jenis pohon yang ditanam sangat beragam,
bisa yang bernilai ekonomi tinggi (kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao, nangka,
melinjo, petai, jati, mahoni) atau bernilai ekonomi rendah (dadap, lamtoro,
kaliandra). Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan (padi
gogo, jagung, kedelai, kacang-kacang, ubi kayu), sayuran, rerumputan atau
jenis-jenis tanaman lainnya.
Bentuk agroforestry sederhana yang paling
banyak dijumpai di jawa adalah tumpangsari (Bratamihardja, 1991) atau taungya yang dikembangkan dalam rangka
program perhutanan sosial dari PT Perhutani. Perani diberi izin menanam tanaman
pangan diantara pohon-pohon jati muda dan hasilnya untuk petani, sedangkan
semua pohon jati tetap menjadi milik perhutani.
Bila pohon telah dewasa, terjadi naungan dari
pohon, sehingga tidak ada lagi pemaduan dengan tanaman semusim. Jenis pohon
yang ditanam adalah yang menghasilkan kayu bahan bangunan (timber) saja,
sehingga akhirnya terjadi perubahan pola tanam dari sistem tumpangsari menjadi
perkebunan jati monokultur. Sistem sederhana tersebut sering menjadi penciri
umum pada pertanian komersial (Siregar, 1990).
Dalam
perkembangannya, sistrm agroforestry sederhana ini juga merupakan campuran dari
beberapa jenis pepohonan tanpa adanya tanaman dadap (Erythrina) atau kelorwono/gamal (Gliricidia) sebagai tanaman
naungan dan penyubur tanah. Contoh tumpangsari lain yang umum dijumpai di
daerah Ngantang, Malang adalah menanam kopi pada hutan pinus (lihat Gambar 2).
Gambar 2. Sistem agroforestry sederhana di
Ngantang, Malang Jawa Timur. Kopi dan Pisang ditanam oleh petani di antara
pohon pinus milik Perum |
Bentuk agroforesty sederhana ini juga bisa
dijumpai pada sistem pertanian tradisional. Pada daerah yang kurang padat
penduduknya, bentuk ini timbul sebagai salah satu upaya petani dalam
mengintensifkan penggunaan lahan karena adanya kendala alam, misalnya tanah
rawa. Sebagai contoh, kelapa ditanam secara tumpangsari dengan padi sawah di
tanah rawa di pantai Sumatera.
Perpaduan
pohon dengan tanaman semusim ini juga banyak ditemui di daerah berpenduduk
padat, seperti pohon-pohon randu yang ditanam pada pematang-pematang sawah di
daerah Pandaan (Pasuruan, Jawa Timur), kelapa atau siwalan dengan tembakau di
Sumenep, Madura (Gambar 4). Contoh lain, tanah-tanah yang dangkal dan berbatu
seperti di Malang Selatan diranami jagung dan ubikayu di antara gamal atau
kelorwono (Gliricidia sepium).
Sistem
agroforestry kompleks : hutan dan kebun
Sistem agroforesrtry kompleks, adalah suatu
sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon
) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan
dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Di
dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu,
tanaman memanjat (liana), tanaman
musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama dari sitem
agroforestry kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang
mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh
karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforest (ICRAF, 1996).
Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal,
sistem agroforestry kompleks ini dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home
garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’, yang biasanya
disebut ‘hutan’ yang letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta, 2000).
Contohnya ‘hutan damar’ di daerah Krui, Lampung Barat atau ‘hutan karet’ di
Jambi
Terbentuknya
agroforestry kompleks
Pekarangan
Pekarangan atau kebun adalah sistem
bercocok-tanam berbasis pohon yang paling terkenal di Indonesia selama
berabad-abad. Kebun yang umum di jumpai di Jawa Barat adalah sistem pekarangan,
yang diawali dengan penebangan dan pembakaran hutan atau semak belukar yang
kemudian ditanami dengan tanaman semusim selama beberapa tahun (fase kebun).
Pada fase kedua, pohon buah-buahan (durian, rambutan, pepaya, pisang) ditanam
secara tumpangsari dengan tanaman semusim (fase kebun campuran). Pada fase
ketiga, beberapa tanaman asal hutan yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga
terbentuk pola kombinasi tanaman asli setempat misalnya bambu, pepohonan
penghasil kayu lainnya dengan pohon buah-buahan (fase talun). Pada fase ini
tanaman semusim yang tumbuh di bawahnya amat terbatas karena banyaknya naungan.
Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini sering disebut dengan fase talun.
Dengan demikian pembentukan talun memiliki tiga fase yaitu kebun, kebun
campuran dan talun (Gambar 3).
Gambar 3. Perkembangan sistem kebun talun (de
foresta er al., 2000)
2. agroforest
Agroforest
biasanya dibentuk pada lahan bekas hutan alam atau semak belukar yang diawali
dengan penebangan dan pembakaran semua tumbuhan. Pembukaan lahan biasanya
dilakukan pada musim kemarau. Pada awal musim penghujan, lahan ditanami padi
gogo yang disisipi tanaman semusim lainnya (jagung, cabe) untuk satu-dua kali
panen. Setelah dua kali panen tanaman semusim, intensifikasi penggunaan lahan
ditingkatkan dengan menanam pepohonan misalnya karet, damar atau tanaman keras
lainnya. Pada periode awal ini, terdapat perpaduan sementara antara tanaman
semusim dengan pepohonan.
Pada saat pohon sudah dewasa, patani masih
bebas memadukan bermacam-macam tanaman tahunan lain yang bermanfaat dari segi
ekonomi dan budaya, misalnya penuisipan pohon durian atau duku. Tanaman semusim
sudah tidak ada lagi. Tumbuhan asli asal hutan yang bermanfaat bagi petani
tatap dibiarkan kembali tumbuh secara alami, dan dipelihara di antara tanaman
utama, misalnya pulai, kayu laban, kemenyan dan sebagainya. Pemaduan terus
berlangsung pada keseluruhan masa keberadaan agroforest. Tebang pilih akan
dilakukan bila tanaman pokok mulai terganggu atau bila pohon terlalu tua
sehingga tidak produktif lagi.
Ditinjau dari letaknya, agroforest biasanya
berada di penggiran hutan (forest margin) atau berada di tengah-tengah antara
sistem pertanian dan hutan. Berdasarkan uraian di atas semua agroforest
memiliki ciri utama yaitu tidak adanya produksi bahan makanan pokok. Namun
sebagian besar kebutuhan petani yang lain tersedia pada sistem ini, misalnya
makanan tambahan, persediaan bahan bangunan dan cadangan pendapatan tunai yang
lain.
Bentuk fungsi dan perkembangan agroforest
dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologis dan sosial (FAO dan IIRR, 1995),
antara lain :
1.
Sifat dan
ketersediaan sumber daya di hutan,
2.
Arah dan
besarnya tekanan manusia terhadap sumber daya hutan,
3.
Organisasi
dan dinamika usaha tani yang dilaksanakan,
4.
Sifat dan
kekuatan aturan sosial dan adat istiadat setempat,
5.
Tekanan
penduduk dan ekonomi,
6.
Sifat
hubungan antara masyarakat setempat dengan ‘dunia luar’,
7.
Perilaku
ekologis dari unsur-unsur pembentuk agroforest,
8.
Stabilitas
struktur agroforest, dan
9.
Cara-cara
pelestarian yang dilakukan.
Dibandingkan sistem agroforestry sederhana,
struktur dan penampilan fisik agroforest mirip dengan hutan alam merupakan
suatu keunggulan dari sudut pandang pelestarian lingkungan (Gambar 6). Pada
kedua sistem agroforestry tersebut, sumber daya air dan tanah dilindungi dan
dimanfaatkan.
Kelebihan agroforest terletak pada pelestarian
sebagian besar keanekaragaman flora dan fauna asal hutan alam (Bompard, 1985;
Michon, 1987; Seibert, 1988; Michon, 1990).
Bentuk-bentuk
agroforestri
Teknologi agroforestry di kawasan hutan di Jawa
di laksanakan dengan menggunakan bentuk Tumpangsari. Inmas Tumpangsari, dan
terakhir Tumpangsari Selama Daur Tanaman Pokok dalam Perhutanan Sosial.
Tumpangsari berarti menduduki lahan hutan atau
ikut memanfaatkan lahan hutan untuk sementara waktu adalah tanaman pertanian,
yaitu pada tanaman hutan muda. Perbedaan dengan Inmas Tumpangsari dalam hal penerapan
Teknologi pertanian yang digunakan, mencakup
penggunaan teknologi sebagai berikut:
a.
Penggunaan
bibit unggul tanaman pertanian
b.
Perbaikan
pengolahan dan konservasi tanah
c.
Penggunaan
pupuk
d.
Pemilihan
waktu yang tepat untuk penanaman dan pemberian pupuk, sehunungan dengan
waktunya turun hujan.
Lanjut….
Komentar
Posting Komentar